Mulai 2024, Seluruh RSUD Provinsi Layani Penyakit Berat

  • Bagikan

Setidaknya 50 persen rumah sakit kabupaten/kota mulai disiapkan agar memiliki alat kesehatan lengkap untuk penyakit jantung, stroke, ginjal, dan kanker.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang fokus memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia guna mengatasi penyakit katastropik atau penyakit berkategori berat dan berbiaya mahal. Salah satunya menyiapkan fasilitas layanan penyakit katastropik serta dokter spesialis di seluruh provinsi dan hingga ke rumah sakit umum daerah (RSUD) di kabupaten/kota.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat penyakit katastropik atau penyakit berbiaya mahal dalam klaim biaya pelayanan kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Pembiayaannya meningkat berkisar 25-31 persen dari total biaya pelayanan JKN-KIS sejak 2014.

“Penyakit katastropik masih menempati cukup besar dari pembiayaan yang harus kita bayarkan. Sedang dirumuskan bagaimana reformasi dan penguatan dari layanan primer,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Selasa (6/12/2022).

Pada 2020, BPJS Kesehatan membayarkan 19,9 juta kasus katastropik dengan biaya sebesar Rp20 triliun atau 25 persen dari total biaya klaim anggaran layanan kesehatan JKN-KIS di tahun tersebut. Tiga penyakit yang menghabiskan proporsi pembiayaan katastropik terbesar adalah penyakit jantung, yaitu 49 persen, kanker 18 persen, dan stroke 13 persen.

Ketika menyampaikan program transformasi kesehatan nasional untuk menangani penyakit katatrospik di Rapat Kerja Kemenkes dengan Komisi X DPR RI, 30 November 2022, Menkes Budi Gunadi Sadikin menyebut Kemenkes akan menjalankan program jejaring rujukan.

Program ini mengelompokkan rumah sakit menjadi tiga kelas yang tiap kelasnya masing-masing memiliki kapabilitas yang berbeda. Ketiga kelas tersebut adalah RS Madya, RS Utama, dan RS Paripurna.

Lewat pengelompokan ini, pihaknya berharap masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses RS rujukan sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, langkah ini juga diyakini dapat mengurangi antrean di rumah sakit, karena setiap rumah sakit sudah jelas peruntukannya.

“Kami telah menargetkan agar setengah dari jumlah RSUD yang ada di seluruh kabupaten/kota dapat menjadi RS Madya,” jelas Menkes Budi.

Untuk mewujudkan itu, Kemenkes akan melakukan standardisasi alat di rumah sakit daerah pada kabupaten/kota yang telah dipilih. Selain itu, Kemenkes juga akan mengalokasikan anggaran agar rumah sakit daerah tersebut memiliki dokter spesialis jantung.

Urgensi peningkatan layanan penyakit berat tersebut mengingat hanya sekitar 6.000 anak pengidap kongenital jantung yang dapat diselamatkan dari 20 ribu kasus. Sisanya tidak dapat ditangani dan meninggal. Hal ini disebabkan kapasitas operasi terbatas, akibat minimnya dokter spesialis.

Dari RSUD di 514 kabupaten/kota hanya 20 persen yang mampu melaksanakan operasi pemasangan ring jantung. Sejumlah kasus seperti warga Ambon di Maluku yang terkena serangan jantung terpaksa harus dibawa ke RSUD di Manado, Sulawesi Utara atau Makassar, Sulawesi Selatan.

Oleh karena itu, Kemenkes mendorong pertambahan jumlah dokter spesialis di tanah air. Indonesia masih membutuhkan 330 dokter spesialis untuk 514 kabupaten/kota, khususnya untuk keperluan memasang ring jantung. Sementara, dari 20 program studi pelayanan jantung di fakultas kedokteran hanya mampu meluluskan rata-rata 25 dokter per tahun. Butuh 15 tahun untuk mencapai target 330 dokter spesialis/sub spesialis.

Sebagai terobosan Kemenkes membuka fellowship bekerja sama dengan kolegium dan organisasi profesi. Fellowship dibuka seluas-luasnya untuk melatih mereka supaya bisa memasang ring maupun pelayanan jantung lainnya.

Untuk itu, Kemenkes telah berkomitmen menambah kuota beasiswa di dalam negeri maupun di luar negeri. Sebelumnya, beasiswa dokter dan spesialis 200-300, kini ditambah menjadi 1.500 beasiswa per tahun.

Proses Instalasi

Kementerian Kesehatan menargetkan layanan empat penyakit katastropik yakni jantung, stroke, ginjal, dan kanker dapat dilaksanakan di seluruh rumah sakit kabupaten/kota di Indonesia. Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya, seperti dikutip dari laman Kemenkes, Jumat (23/12/2022), mengatakan bahwa ini merupakan langkah untuk mendekatkan akses layanan kesehatan rujukan kepada masyarakat Indonesia, sekaligus untuk mengurangi beban pembiayaan kesehatan.

Sebagai contoh untuk penyakit jantung, tidak semua provinsi memiliki rumah sakit dengan fasilitas untuk memasang ring di jantung. Dari 34 provinsi, yang bisa melakukan operasi pasang ring hanya 28 provinsi dan 22 provinsi yang bisa melakukan operasi jantung terbuka.

Oleh karena itu, ditargetkan 34 rumah sakit pemerintah di seluruh provinsi pada 2024 bisa melayani penyakit kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi. Secara bertahap, Kemenkes akan menyediakan alat kesehatan lengkap untuk empat penyakit tersebut pada setengah dari seluruh RSUD di kabupaten/kota.

Apa saja alat kesehatan yang dibutuhkan untuk penyakit berat tersebut? Untuk pengobatan jantung dan stroke antara lain Echocardiography, CT-Scan, Cath lab, Set Kamar OK, IABP, Rotablator, IVUS-FFR, MRI, Mikroskop Neuro, Heart Lung Machine, dan OCT. Sementara itu untuk kanker terdiri dari Mammography, SPECT CT, Flowcytometer, IHK, Bronchoscopy, Brachiterapy, CUSA, LINAC, PET-CT, dan CT Simulator.

Adapun alat kesehatan untuk uronefrologi adalah Set endourology, ESWL, C-Am, USG Doppler, Video Urodynamic, Laser Holmium, Automated Peritoneal Dialysis, PCNL, URS, dan Tissue typing.

Selain itu, Kemenkes juga akan melengkapi alat kesehatan untuk kesehatan ibu dan anak di seluruh RSUD. Yakni berupa Mesin Anestesi, Patient Monitor, Ventilator, USG Fetomaternal, Inkubator Bayi, MALDI Tofs, Laser Ablation, HFOV, Mesin Nitrit Oxide, HFOT, dan HFNC.

Anggaran yang diperlukan untuk mengejar target 50 persen kabupaten/kota tersebut sebesar Rp3,55 triliun. Alokasi anggaran tersebut disalurkan ke daerah sehingga yang melakukan pembelian alat kesehatan adalah pemerintah daerah.

“Saat ini sudah 55 persen alat kesehatan yang sudah sampai di beberapa RSUD. Dari 55 persen itu ada alat yang sudah terpasang, ada juga alat yang dalam proses instalasi,” jelas Dirjen Azhar Jaya.

Adapun sebanyak empat persen alat batal dibeli karena kendala dari pihak pemasok karena tidak siap, tidak bisa indent, katalog turun tayang, dan gagal lelang.

Pemenuhan alat kesehatan ini merupakan langkah konkret transformasi kesehatan nasional terkait layanan rujukan. Transformasi ini dimulai dengan mengatasi penyakit penyebab kematian paling tinggi di Indonesia yakni penyakit kanker, jantung, stroke, dan uronefrologi.

  • Bagikan