Menangkal Hoax dan Narasi Provokatif Berbau SARA

  • Bagikan

Beberapa tahun terakhir, masyarakat sering disugihi konten dan narasi yang tidak hanya kontroversi, namun juga hoax dan provokatif. Hal ini dilakukan oleh kelompok tertentu untuk membentuk opini publik dan terkadang menggiring melalui kutipan ayat-ayat al Quran dan hadits untuk memperkuat narasi provokatif.

Bagaimana seharusnya masyarakat menghadapi situasi tersebut? agar tidak terjebak dalam hoax atau narasi provokatif dengan dibungkus agama.

Abdul Azis, M.A, Direktur Riset dan Kajian Keislaman Dialektik mengatakan bahwa masyarakat harus meningkatkan sikap kritis dan rasionalitasnya dalam menerima segala informasi.

“Mau tidak mau, masyarakat harus meningkatkan sikap yang rasional dan kritis dalam membaca informasi apa pun, ya termasuk informasi seputar agama. Harusnya sikap seperti ini yang terus dipupuk dan ditanam sejak kecil, mulai dari dalam keluarga misalnya”. Kata Abdul Azis, kepada redaksi kliksaja.co Jumat (22/01/2021).

Kang Azis, sapaan akrabnya secara tegas mengatakan bahwa melalui sikap yang rasional dan kritis maka kita harus memposisikan diri sebagai orang yang selalu curiga terhadap segala informasi. Atau tidak mempercayai begitu saja.

Hermenuutika Kecurigaan

Kang Azis mengutip pemikiran Paul Ricoeur untuk menjelaskan sikap kritis dan rasional tersebut. Menurutnya, kita perlu menerapkan hermeneutics of suspicion, hermeneutika kecurigaan. Jelas Kang Azis.

Dalam dunia penafsiran, selalu perlu dicurigai. Informasi yang beredar apalagi yang menggunakan narasi provokatif dengan dibungkus ayat-ayat dan hadis selalu harus dicurigai.

Nah, bagaimana cara mencurigainya? ya, dengan sikap kritis dan rasional. Masyarakat dianataranya bisa menggunakan hermeneutiknya seorang filosof Paul Ricour untuk selamat atau tidak jadi korban hoax dan narasi provokatif berbau agama.

Lantas, bagaimana cara bersikap kritis dan rasional ala hermenutikanya Paul Ricour?

Kang Azis menguraikan setidaknya ada dua cara dalam penerapannya diantaranya;

Pertama, kita belajar curiga bahwa dalam diri tiap individu akan selalu ada dorongan yang kuat untuk menguasai individu lainnya (the will to power).

Karena itu, kita mesti waspada dalam memahami wacana lisan dan tulisan apapun.

Hal ini dilakukan karena di dalam setiap penggunaan bahasa baik melalui lisan maupun tulisan selalu terkandung maksud untuk mempengaruhi dan menundukkan orang lain untuk mengikuti keyakinan dan pandangan tertentu.

Kemudian yang kedua, kita belajar curiga, bahwa ekonomi dan politik tentunya akan memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi cara berpikir dan cara bertindak seseorang.

Sampai di sini, paling tidak, kita dapat melihat bahwa pemaknaan suatu kata tidak pernah lepas dari impuls-impuls subjektif untuk menghibur atau sedikitnya memenuhi tuntutan tersebut.

Dua hal inilah yang menurut Kang Azis dapat diterapkan agar masyarakat tidak menjadi korban hoax dan narasi-narasi provokatif.

“Paling dua hal ini perlu kita terapkan dalam membaca narasi-narasi provokatif, termasuk narasi yang menggunakan embel-embel agama”. Ternag Kang Azis.

Terminologi Fikih

Kang Azis juga membedah melalui termonolgi fikih, selain pendekatan filsafat hermenutik. Kita sudah seharusnya menjadi seoarang mujtahid sehingga sikap kita tidak selalu taqlid. Selalu rajin melakukan cek and recek kebenaran terhadap segala informasi.

“Kalau kita gunakan terminologi fikih, supaya kita tidak terjebak dalam hoax atau narasi provokatif, kita harus menjadi mujtahid, bukan muttabi’ dan apalagi muqallid (sikap yang mengekor semua hal yang tertera dalam berita, teks agama)”. Kata Kang Azis.

Kang Azis menambhakan bahwa sikap tersebut harus diterapkan pada fenomena otoritas keagamaan: semuanya, entah itu ulama, habib, ustadz dan seterusnya. Mengapa demikian, agar tidak terjebak pada glorifikasi tokoh-tokoh agama atau mensakralkan tokoh tertentu sehingga kita kehilangan objektivitas dalam menilai sesuatu.

Hal ini tentu saja unutk memperkuat objektivitas kita, agar terhindar dari jebakan hoax, semakin kritis tidak taqlid pada panutannya.

Singkatnya, bersikap rasional dan bersikap kritis, itulah yang penting. Sikap seperti ini ada rujukannya pada ulama-ulama kita seperti Ibnu Rusyd yang rasionalis dan Ibnu Khaldun yang realis-kritis.

Politik Identitas

Bagaimana merespon beberapa tahun terakhir narasi-narasi provokatif untuk kepentingan politik SARA dengan menyajikan ceramah-ceramah provokatif dan mengutip ayat-ayat al quran dan hadis yang terkadang pendekatannya masih tekstual, sehingga menimbulkan kegaduhan dalam kehidupan berbangsa dan beragama?.

Mennaggapi hal tersebut Kang Azis menjelaskan bahwa terdapat dua hal untuk fenomena tersebut. Mengamakan poliitk dan politisasi agama.

Dalam kasus penggunaan ayat-ayat dan hadis-hadis untuk tujuan politik tertentu, kita harus pahami dua kecenderungan berbeda. Namun, berdampak pada hal yang sama.

Yaitu Mengagamakan politik dan Mempolitisasi agama. Dua aspek ini menurut Kang Azis saling menguatkan dan saling bersinergi.

Untuk aspek yang pertama, mengagamakan politik. Pada pilpres 2019 lalu, perbedaan politik seolah digunakan untuk menentukan identitas seorang individu, misalnya, ulama pemilih no. 1 dianggap sebagai munafik, kafir, fasik dan seterusnya lalu ulama pemilih dan pendukung no. 2 dianggap sebagai ulama yang dibenci oleh kaum munafik, kafir, fasik dan seterusnya.

Nah, Imam as-Syafi’i itu sampai diseret-seret untuk memilih no.2 karena ulama no. 2 itu ulama yang bener-bener ulama. Sampai di sini, pilihan politik dijadikan sebagai penentu identitas keagamaan.

Sedangkan aspek kedua, yakni politisasi agama, bagaimana ayat-ayat al-Quran dan hadis digunakan untuk menjustifikasi perilaku politik tertentu.

Misalnya, kita anti pemimpin non-muslim. Lalu kita pilih ayat-ayat dan hadis-hadis, misalnya al-Maidah ayat 51 untuk tujuan mendelegitimasi pemimpin non-muslim.

Padahal secara konteks, ayat ini tidak mengarah ke situ. Umat Islam dari dulu itu selalu terjebak pada dua hal ini: mengagamakan politik dan mempolitisasi agama. Jelas Kang Azis.

De-sakralisasi

Menghadapi kondisi tersebut, Kang Azis memberikan solusi bagi masyarakat. Yaitu dengan sikap kritis dan rasional atau de-sakralisasi.

“Lalu bagaimana solusinya, ya harus ada upaya rasionalisasi, atau bahasa kontroversialnya, de-sakralisasi meminjam istilah Cak Nur. Politik ya anggap politik. Agama ya harus dianggap agama”. Terang Kang Azis.

Kang Azis mencontohkan bagaiman tradisi para filosof muslim dianataranya Ibnu Rusyd ketika melihat banyak kalangan filosof yang mencampur adukan filsafat dengan agama mengkritik bahwa agama ya harus dilihat dalam kerangka logika internal agama, filsafat juga harus dilihat dalam kerangka filsafat. Jadi jangan dicampur aduk. Kalau dicampuraduk, kata Ibnu Rusyd, adarrah al-falsafah wa as-syariah (merusak agama dan filsafat secara bersamaan).

Kalau kita gunakan gagasan Ibnu Rusyd ini, tentunya dalam kasus mengagamakan politik dan mempolitisasi agama tidak perlu terjadi karena sudah di-desakralisasi yang sakral dianggap sakral, jangan sampai yang non-sakral seperti politik dianggap jadi sakral. Ini berbahaya.

Agama dan Tafsir Agama

Selain itu Kang Azis juga mengajak kita untuk mulai memahami agama dan penafsiran. Kita seyogyanya bisa membedakan mana itu agama dan mana itu tafsir.

“Dalam memahami agama, perlu dibedakan antara agama dan penafsiran terhadap agama. Agama itu al-Quran dan Hadis. keduanya merupakan hal yang sakral dan absolut sedangkan penafsiran agama itu relatif dan terkondisikan oleh ruang dan waktu”. Urai Kang Azis.

kang Azis menambahkan bahwa jika agama ditafsirkan menurut kehendak penafsir yang bermotif politis seharusnya jangan kita mutlakkan sebagai sesuatu yang mencerminkan ajaran keagamaan. Itu namanya glorifikasi berbasis hawa nafsu yang sebenarnya dikecam oleh al-Quran.

Karenanya perlunya dilakukan de-sakralisasi dan pembedaan antara agama yang sakral-absolut dan penafsiran agama yang relatif. Ini merupakan cerminan semangat tahlil.

Kang Azis menegaskan bahwa hanya Allah yang layak kita sakralkan dan kita absolutkan, yang lain selain Allah itu relatif dan tak perlu dipertuhankan.

“Politik tidak boleh dipertuhankan atau diagamakan. Penafsiran agama juga jangan dianggap sakral dan absolut karena mengabsolutkan penafsiran agama akan berimplikasi pada sikap membenarkan pandangan kita sendiri dan menyalahkan yang lain dan ujung-ujungnya radikalisasi tafsir yang relatif”. Pesan Kang Azis.

  • Bagikan