Sering Terjadi Konflik dan Menimbulkan Banyak Korban, Negara Harus Lindungi Masyarakat Adat Atas Hak-Hak Tanah Ulayat Melalui UU Adat

  • Bagikan

Pemerintah didorong agar segera menyelesaikan persoalan konflik agraria yang berpotensi terus bertambah mengenai lahan yang berkaitan dengan adat atau tanah ulayat. Tercatat sekitar 360 kasus konflik dan korban kurang lebih 16.000 dalam bentuk teror, intimidasi, diskriminasi, perampasan dan pengambilan tanah ulayat yang dilakukan oleh pihak pemerintah atau pemerintah daerah maupun oleh korporasi terhadap tanah-tanah adat.

Hal ini sebagaimana terungkap dalam diskusi virtual Lembaga Kajian Dialektika dengan tema “Perlindungan Hukum dan Hak Masyarakat Adat Dalam Sistem Hukum Agraria”. Hadir sebagai narasumber Eliana (Dosen Fakultas Hukum Unpam), Dwi Kusumo Wardani (Dosen Fakultas Hukum Unpam) dengan dimoderatori oleh Muhammad Khutub selaku Host Lembaga Kajian Dialektika pada Kamis (09/07/2020) malam.

Dwi Kusumo Wardani, dalam paparannya menyinggung dimana dari dahulu hingga sekrang adanya sikap rendah pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat. Sistem feodal masih mewarisi sistem agraria di Idnonesia, khususnya terkait tanah ulayat. “Selama ini pengakuan ulayat tidak bbegitu dianggap penting dan terkesan masih sistem feodal dalam urusan agraria”. Jelas Mbak Dwi Kusumo W dalam pemaparannya.

Dwi Kusumo juga menyinggung terkait permasalahan regulasi, menurutnya aturan mengenai tanah ulayat yang ada saat ini masih inkonsesten. “Saat ini terjadi inkonsistensi pengaturan hak ulayat, ini semua dimulai dari adanya penafsiran atas UUD 1945 pasal 18 ayat”. Terang Dwi Kusumo, yang juga dosen fakultas Hukum di Unpam.

Bunyi pasal yang menimbulkan penafsiran adalah adanya kata-kata sepanjang masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Kata Dwi Kusumo

UUD 1945 pasal 18 ayat 2 berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Lebih lanjut Dwi Kusumo juga mengkhawatirkan RUU Cipta Kerja yang beberapa ketentuannya justru berpotensi mengancam tanah-tanah ulayat. Di dalam RUU Cipta Kerja terdapat istilah bank tanah, sebuah badan yang nantinya mengatur kebuuthan tanah negara untuk keperluan investasi dengan berhak pengelolaan tanah dalam bentuk HGU, HGB, HP (hak pakai) dengan jangka waktu hingga 90 tahun.”RUU Cipta Kerja terkait pasal Bank Tanah jelas berpotensi menghilangkan hak-hak ulayat masyarakat adat”. Terang Dwi Kusumo dengan sangat serius dalam pemaparannya.

Disisi lain, Eliana, mengatakan bahwa di Indonesia sudah ada UU agraria No 5 tahun 1960 yang mengatur hak-hak masyarakat adat. Eliana mengurai yang dimaksud masyarakt adat itu siapa? UU agraria tersebut merupakan cerminan pasal 18 ayat 2 sehingga masyarakat adat harus memenuhi ketentuan diantaranya ada struktur adatnya atau yang dituakan, ada wilayah atau persekutuannya, dan ada komunitas masyarakat adatnya yang masih aktif. Eliana mencontohkan mislanya suku badui yang dinilai masih memenuhi unsur-unsur tersebut, dan masih banyak di wilayah lain.

“Selama ini memang ada aturan kepemilikan hak ulayat yaitu melului perda di masing-masing daerah, dan biasanya dimulai dari pengajuan oleh adat tersebut untuk mendapatkan sertifikat”. Tambah Eliana.

Eliana memprediksi, karena belum adanya UU Ulayat diprediksi tanah-tanah ulayat akan tergerus habis dan akan hilang, ia mencontohkan betawi misalnya yang saat ini sudah kehilangan tanah ulayatnya meski adat dan komunalitas masyarakat betawi masih ada. Belum lagi ancaman bagi adat yang nomaden dimana tanahnya bisa kembali diambil negara dan lari ke para investor “Kita butuh aturan produk hukum yang bisa berlaku untuk semua adat ulayat, bukan aturan yang sifatnya penafsiran-penafsiran atas pasal 18 ayat 2 UUD 1945 seperti saat ini. Negara harus cepat-cepat bikin UU hak ulayat”. Kata Eliana.

Eliana menyatakan, kebutuhan perlindungan tanah ulayat snagat urgen, “akan dikemanakan masyarakat adat jika tanah-tanah ulayat mereka habis diambil oleh negara atau investro untuk pembangunan. Harus ada aturan normatifnya, harus ada yang melindungi masyarakat adat, harus ada sanksi tegas pelanggaran-pelanggaran itu. karena saat ini kasus-kasus tidak jelas keadilan dan penyelesaiannya”. Jelas Eliana.

Saat ini kita kurang pernagkat hukum untuk melindungi masyarakat adat dan hak-haka ulayat mereka. Permen Agraria hanya mengatur tanah ualyat sepanjang masih ada masyarakatnya, ada ketentuan melalui Kemendagri dengan produk SK Kepala daerah untuk melindungi tanah ulayat. Namun semua produk hukum tersbeut terbukti belum mampu melindungi hak-hak ulayat tanah adat kata kedua narasumber dalam paparan closingnya.

  • Bagikan