Langkah Pasti Menggapai Target Bauran Energi di 2025

  • Bagikan


PT PLN Persero bergerak menyerap energi listrik berbasis tenaga minihidro milik PT Karo Bumi Energi. Kini, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di Sumatra Utara sudah mencapai 43,47 persen.

Penandatanganan berita acara operasi komersial atau commercial operation date (COD) antara PLN Unit Induk Distribusi Sumatra Utara (UID Sumut) dan PT Karo Bumi Energi di Hotel Grand City Hall, Medan, pada Senin, 9 Januari 2023 menandai penyerapan listrik PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM) Kandibata I di Kabupaten Karo, Sumatra Utara.

General Manager PLN UID Sumut Tonny Bellamy mengatakan, pengoperasian pembangkit listrik berbasis air dengan kapasitas 2×4,85 megawatt (MW) ini makin menambah pasokan listrik berbasis energi ramah lingkungan. Saat ini, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) di Sumatra Utara sudah mencapai 43,47 persen.

“PLTM Kandibata I merupakan pembangkit EBT ke-20 yang beroperasi di Sumatra Utara. Dengan beroperasinya PLTM Kandibata I dapat meningkatkan keandalan pasokan listrik, khususnya di Kabupaten Karo dan sekitarnya,” kata Tonny.

Tonny mengatakan, dengan beroperasinya PLTM Kandibata I dapat memperbaiki kualitas tegangan sehingga layanan kepada masyarakat juga lebih baik. Selain itu, hadirnya PLTM Kandibata I ini juga berpotensi mampu mengefisiensi Biaya Pokok Penyediaan (BPP) di Sumatra Utara, mencapai Rp11 miliar per tahun.

Tak hanya PLTM Kandibata I, tambah Tonny, PLN UID Sumatra Utara juga akan melakukan penandatanganan berita acara untuk enam PLTM dan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm). Penandatanganan enam pembangkit ramah lingkungan akan dilakukan di semester pertama 2023 dengan kapasitas daya total 43,7 MW.

“Upaya meningkatkan keandalan pasokan listrik di Sumatra Utara, tetap harus dibarengi dengan pelestarian lingkungan di sekitar PLTM. Sehingga, masyarakat sekitar bisa mendapatkan manfaat,” kata Tonny.

Selain memanfaatkan minihidro untuk memperluas bauran energi, PLN juga menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) melalui teknologi cofiring. Melalui teknologi ini, PLN tak hanya mengurangi angka ketergantungan akan batu bara, melainkan juga menghasilkan energi yang lebih bersih.

Cofiring merupakan sebuah teknologi substitusi batu bara dengan bahan bakar biomassa yang bersumber dari tanaman energi, limbah perkebunan, limbah pertanian, limbah pertukangan, bahkan hingga sampah domestik.

Dari program cofiring tersebut, PLN telah menghasilkan energi hijau hingga 487 MWh. Di 2021 pencapaian tercatat sebesar 269 Mwh dan di Januari hingga Mei 2022 sebesar 218 MWh. Sampai dengan Mei, tercatat PLN telah mengimplementasikan teknologi tersebut di 32 PLTU di seluruh Indonesia.

Pencapaian ini menjadi bukti keseriusan PLN mendukung pemerintah dalam percepatan pemanfaatan EBT menuju target 23% di 2025. Untuk 2022, diperkirakan kebutuhan biomassa untuk bahan bakar cofiring mencapai 450.000 ton dan di 2023 naik lima kali lipat menjadi 2,2 juta ton dari berbagai jenis biomassa.

Untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa, PLN telah mendapat kepastian pasokan dari sinergi BUMN, pemerintah daerah, bahkan pihak swasta. Sementara itu, salah satu pokok bahasan di Presidensi G20 di Bali beberapa waktu lalu menegaskan seberapa pentingnya keuangan berkelanjutan untuk pemulihan ekonomi global yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif.

Dalam mengimplementasikan hal tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya untuk melakukan transisi energi, yakni dari energi yang berbasis tidak terbarukan (non-renewable), terutama batu bara, ke energi terbarukan (renewable). Salah satu langkah konkret tersebut dilakukan dengan penyediaan dan pembangunan barang milik negara (BMN) infrastruktur EBT.

Melalui kebijakan APBN, sejak 2011, Kementerian Keuangan berkolaborasi dengan Kementerian ESDM cq Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) berkomitmen untuk mencapai target bauran energi baru terbarukan yang sudah ditetapkan sebesar 23% pada 2025. Selain itu, program pembangunan infrastruktur EBT juga ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang belum tersambung dengan jaringan tenaga listrik di kawasan perbatasan tertinggal, daerah terisolir, dan pulau-pulau terluar.

Dalam kurun waktu enam tahun (2016–2021), pemerintah telah mendistribusikan BMN infrastruktur kepada pihak-pihak yang membutuhkan melalui skema alih status penggunaan, hibah, dan/atau penyertaan modal pemerintah pusat. Skema pengelolaan BMN ini sesuai Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 sebagaimana diubah dengan PP nomor 28 tahun 2020.

Adapun penerima manfaat dari BMN infrastruktur EBT, antara lain:

PLTS Terpusat telah diberikan kepada 21 pemerintah provinsi (pemprov) dan 31 pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot);
PLTS Rooftop telah diberikan kepada 33 pemprov, 25 pemkab/pemkot, 18 pondok pesantren, enam satuan kerja KESDM, dan delapan kementerian/lembaga (K/L);

LTSHE telah diberikan kepada 364.315 rumah tangga;

PJU Tenaga Surya telah diberikan kepada 33 pemprov dan 217 pemkab/pemkot;
PLTMH telah diberikan kepada 12 pemkab/pemkot;

PLT POME (palm oil mill effluent) telah diberikan kepada empat pemkab/pemkot;

Biogas Komunal telah diberikan kepada delapan pemkab/pemkot dan enam pondok pesantren.


Tahun 2022 ditargetkan pembangunan sebanyak 33.476 unit BMN infrastruktur dengan anggaran sebesar Rp483 miliar. Selain tujuh jenis BMN infratruktur EBT di atas, pemerintah juga sedang melaksanakan program pemasangan paket alat penyalur daya listrik (APDAL) bagi masyarakat yang berada di wilayah desa yang belum terjangkau jaringan listrik.

Hal itu merupakan tindak lanjut dari amanat presiden untuk memfasilitasi listrik kepada 433 desa yang tersebar di empat provinsi di tanah air, yakni Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur.

  • Bagikan