Ideologi dibalik Kasus Pelarangan Jilbab

  • Bagikan

Oleh : Rika Febriani, (Dosen Prodi Ilmu Sosial Politik, Universitas Negeri Padang)

Isu pemaksaan pemakaian jilbab di SMKN 2 Padang telah menjadi isu nasional. Berita mengenai hal tersebut cukup viral di media massa sehingga Provinsi Sumatera Barat menjadi sorotan dan dikecam oleh banyak pihak atas peraturan yang diterapkan di sekolah.

Peristiwa ini direspon oleh pemerintah pusat pada 3 Februari lalu dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri; Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Agama.

Beberapa lembaga negara seperti DPR-RI, BPIP, Komnas HAM, KPAI dan organisasi keagamaan juga turut berpendapat menanggapi peristiwa ini.

Kalangan pendidikan di Sumbar sendiri melihat bahwa berita ini terlalu berbau politis karena dalam implementasinya pemakaian jilbab oleh siswi non-muslim ini tidak menjadi pokok permasalahan utama selama ini di dunia pendidikan Sumbar.

Namun, demi ketertiban berpikir sepertinya kita harus melihat permasalahan ini lebih mendalam lagi, mengingat hal ini bukanlah pertama kalinya isu kewajiban berjilbab muncul di Sumbar.

Dibalik SKB 3 Menteri

Riset dari Yayasan Jurnal Perempuan telah melihat persoalan ini di tahun 2008 dan melihat bahwa di Padang banyak siswi-siswi non-muslim yang secara terpaksa mengenakan jilbab. Bila tidak memakai pakaian yang dianjurkan, mereka tidak dapat mengikuti pelajaran di kelas (Romli, 2008).

Dalam pernyataan bersamanya melalui youtube, Nadiem Makarim menyatakan bahwa pertimbangan dikeluarkannya SKB ini adalah; bahwa sekolah haruslah dapat berperan penting dalam menjaga eksistensi ideologi negara, yaitu: Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini juga melihat bahwa cara berpakaian sebagai bentuk moderasi dan toleransi atas keberagaman di Indonesia, sehingga adanya pemaksaan pemakaian berjilbab dianggap dapat membahayakan kesatuan umat beragama dan oleh karenanya juga negara RI.

Hasil dari SKB ini memutuskan bahwa murid, guru dan tenaga kependidikan di sekolah negeri berhak memilih menggunakan atribut keagamaan dan bukan diatur berdasarkan keputusan dari sekolah. Artinya keputusan penggunaan jilbab ini dikembalikan kepada individu.

Dibalik kebijakan ini, kita tentu harus jeli melihat ideologi apa yang sedang bermain.

Ideologi dalam kajian filsafat dapat dianggap sebagai kesadaran palsu (Magnis Suseno, 2020). Ideologi dapat bersifat seolah-olah benar namun digunakan untuk melayani kepentingan tertentu, dia dapat berkonotasi netral ataupun negatif.

Masyarakat Minang sendiri memiliki landasan “ideologi”; adat basandi syara’, syara basandi kitabullah. Dia berasal dari keutamaan dan telah menginternalisasi dalam kehidupan masyarakat Minang sejak dahulunya. “Ideologi” ini menjadi cermin atas gerakan sosial politik yang mewarnai Sumatera Barat.

Misalnya pada tahun 1910an dan 1920an, muncul ideologi mulai dari nasionalisme Minangkabau, komunisme Islam, dan nasionalisme Indonesia di Sumatera Barat. Sehingga dinamika politik dan sosial di Sumatera Barat telah menjadi bagian dari denyut Indonesia secara keseluruhan (Hadler, 2008).

Ormas Islam dan tokoh masyarakat di Sumatera Barat sendiri secara tegas menolak SKB 3 Menteri tersebut.

Berbagai alasan dikemukakan diantaranya karena menganggap peraturan ini terlalu bebas, dengan menyerahkan keputusan kepada individu ataupun keluarga yang seharusnya terdapat ikatan terhadap nilai-nilai yang sesuai dengan budaya dan kebijakan otonomi di daerah masing-masing.

Konservatisme yang Toleran

Kembali kepada nilai-nilai agama ini merupakan suatu gejala dalam ideologi konservatisme, dimana seluruh dunia pada saat ini sedang berjalan ke arah tersebut.

Konservatisme yang ditakutkan adalah akan mengarah kepada ekslusivisme suatu ajaran tertentu dan berujung kepada fundamentalisme.

Tidak ada yang salah dengan konservatisme ini, karena sebagai suatu sistem berpikir, dia adalah produk atas refleksi.

Namun, yang diinginkan pada saat ini adalah konservatisme yang lebih toleran dan demokratis karena kita hidup di tengah Indonesia yang beragam.

Di sanalah letak Pancasila menjadi penting, yang menjadikan faham keagamaan lebih moderat.

Kembali lagi kepada sejarah Minangkabau, dimana sejak akhir abad ke-18, Minangkabau telah mengalami perdebatan tidak henti antara reformis muslim dan para pelanggeng budaya (Hadler, 2008).

Berlawanan dengan nasionalis islam ini adalah nasionalis sekuler. Pada ideologi nasionalis sekuler ini yang ditonjolkan adalah kebebasan individu untuk dapat memilih praktek keagamaannya.

Persatuan tetap yang ditonjolkan, namun praktek keagamaan menjadi berkurang dalam masyarakat sekuler. Penghormatan terhadap pilihan individu untuk memeluk keyakinan apapun diharapkan melahirkan toleransi yang bersifat individual sekaligus komunal.

Semangat yang dibawa oleh ideologi sekuler ini berusaha meminimalisir peran negara, atau peraturan yang “memaksa” individu dalam beragama.

Namun, ini bisa saja menjadi pisau bermata dua karena di satu sisi ideologi ini juga dapat menimbulkan sikap intoleran.

Para tokoh-tokoh nasionalis sekuler paling semangat menggaungkan anti Perda yang berhubungan dengan agama, namun mereka menolak disebut sebagai yang anti agama. Suatu sikap yang yang khas dari tokoh di Indonesia.

Dalam ideologi nasionalis sekuler ini, negara tidak boleh ikut campur dalam mengatur kehidupan beragama warga negaranya. Namun, pemerintah memiliki peran untuk “mengawasi” agar keyakinan warga negara minoritas tetap terlindungi.

Dalam peristiwa pelarangan jilbab yang berujung kepada dikeluarkannya SKB 3 menteri ini, saya rasa Indonesia tidak perlu sekularisasi untuk menerima keragaman. Hal tersebut sudah dijalani oleh bangsa Indonesia selama berabad-abad.

Sekularisme pada dasarnya tidak nampak dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat relijius. Jadi alih-alih memaksakan kebebasan, mengapa tidak melihat kewajiban berjilbab sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang sudah mengakar dari tradisi masyarakat Minang?

Berikanlah kebebasan kepada daerah untuk memilih praktek beragama yang dianutnya tanpa memaksakan pada yang bukan bagian dari keyakinan agamanya.

 

  • Bagikan