PSBM dan Mengenang Kebesaran Syeikh Yusuf di Afrika Selatan

  • Bagikan

Hafid Abbas

Ketua Senat UNJ dan Ketua Dewan Senat PTN se-Indonesia

 

Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) XXII di Hotel Claro Makassar, telah dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Muhammad Jusuf Kalla (JK) pada Sabtu, 14 Mei 2022. Tiga hari sebelum pertemuan ini, JK menerima penghargaan tertinggi bintang jasa utama The Grand Cordon of the Order of the Rising Sun dari Pemerintah Jepang. Penganugerahan ini disampaikan langsung oleh Kaisar Jepang Naruhito melalui upacara kenegaraan di Istana Kekaisaran (Imperial Palace) pada Selasa, 10 Mei 2022

Penganugerahan tertinggi itu diberikan kepada JK atas segala peran dan kontribusinya dalam mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama antara Indonesia dengan Jepang baik ketika ia sebagai Wakil Presiden, Menteri, Pengusaha, tokoh perdamaian dan kemanusiaan.

Menarik ditelaah penyampaian JK pada pembukaan PSBM yang menekankan bahwa pertemuan ini adalah ajang untuk saling bertukar pengetahuan dan pengalaman antarpengusaha Bugis Makassar dari seluruh nusantara. Sinergi pengetahuan dan pengalaman bagi sesama pengusaha dapat menggelorakan semangat lahirnya pengusaha-pengusaha nasional yang tangguh. Pertemuan ini bukan hanya sekedar kumpul-kumpul saja, atau pertemuan dagang, tapi bagaimana meningkatkan semangat para pengusaha.

Dari pesan itu, dalam sejarah kontemporer Afrika Selatan dikenal seorang tokoh Bugis-Makassar bernama Syeikh Yusuf Al-Makkasari yang telah memberi semangat perjuangan bagi warga kulit hitam di negara itu untuk membebaskan diri dari cengkeraman penindasan rezim apartheid, kulit putih. Kelihatannya semangat Syeikh Yusuf ini patut diteladani oleh para pengusaha.

Syeikh Yusuf adalah kemanakan Raja Gowa, Sultan Alauddin yang diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Afrika Selatan pada 27 Juni 1693. Pada 1644, Syeikh Yusuf bertolak ke Saudi untuk menunaikan ibadah Haji dan belajar Ilmu Agama di sana. Setelah menetap dan belajar di Saudi selama beberapa tahun, ia tidak dapat kembali ke Kerajaan Gowa karena Gowa sudah dikuasai oleh Belanda. Ketika kembali, ia memilih ke Kesultanan Banten dan ternyata ia diterima dengan baik oleh Sultan Agung Tirtayasa.

Syeikh Yusuf membantu kesultanan ini melawan penjajahan Belanda dan akhirnya ia ditangkap dan dibuang ke Ceylon pada September 1684, dan selanjutnya diasingkan lagi ke Afrika Selatan sembilan tahun kemudian.

Syeikh Yusuf yang disebut oleh Nelson Mandela sebagai salah seorang putra terbaik Afrika Selatan, akhirnya meninggal di Zandvliet pada 23 Mei 1699 dengan beragam legacy yang ditinggalkan. Untuk menghargai kebesarannya, masyarakat dan pemerintah Afrika Selatan merubah tempat ini menjadi Macassar yang masih dalam wilayah administratif Cape Town.

 

Refleksi

Ketika, masih di Kementerian Negara Urusan HAM pada akhir 1999, sebagai Deputi Menteri, saya telah merintis berbagai bentuk kerjasama dengan Afrika Selatan untuk memetik pengalaman negara itu membentuk Truth and Reconciliation Commission (TRC) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalunya. Pada masa itu, Indonesia banyak dilanda konflik sosial yang menuntut satu penyelesaian melalui mekanisme rekonsiliasi.

Pada akhir 2003, sebagai Dirjen Perlindungan HAM Kementerian Kehakiman dan HAM, saya telah menerima undangan dari TRC Afrika Selatan untuk berkunjung ke negara itu dengan sejumlah agenda termasuk pertemuan dengan Presiden Nelson Mandela, Ela Gandhi (cucu Mahatma Gandhi, Anggota Parlemen Afrika Selatan), Dullah Omar (Menteri Transportasi), dst. Omar adalah teman seperjuangan Mandela yang sama-sama dipenjara di Robben Island selama hampir dua dekade karena menentang rezim apartheid, dan keduanya baru bebas pada 1990.

Ada yang menarik dari pertemuan kami dengan Dullah Omar. Ia mengungkapkan bahwa Mandela, Desmond Tutu dan para aktivis anti-apartheid telah berjuang tanpa menyerah karena terinspirasi dengan semangat, ketokohan dan kegigihan perlawanan Syeikh Yusuf atas kekejaman apartheid terhadap warga kulit hitam Afrika Selatan.

Inspirasi pertama, Syeikh Yusuf bukanlah warga kulit hitam Afrika Selatan, tetapi mengapa ia rela berjuang bersama orang yang tidak dikenal, bersama kami warga kulit hitam, orang yang berbeda latar belakang suku, budaya dan bangsa. Jika kami berjuang melawan apartheid amatlah wajar karena kami dibantu oleh kerabat, keluarga dan demi keselamatan bangsa kami sendiri.

Karenanya, semangat ini perlu tumbuh di kalangan pengusaha Bugis-Makassar agar dalam mengembangkan usahanya tidak hanya berkelompok dalam rumpun sesama warga Bugis-Makassar atau di lingkup nasional, tetapi dapat bermitra dengan berbagai pihak dari dalam dan luar negeri yang memberi nilai tambah pada pengembangan usaha itu.

Kedua, Yusuf bukanlah warga kelahiran Afrika Selatan karena ia berasal dari daerah Bugis-Makassar, Indonesia, tetapi mengapa ia rela berjuang di negeri kami, Kata Dullah Omar. Sementara kami berjuang di tanah air kami sendiri.

Semangat ini telihat amat sesuai dengan semangat PBSM agar mengembangkan usahanya yang tidak hanya di lingkup daerah atau nasional, tetapi juga di lingkup kawasan atau di tingkat internasional.

Inspirasi berikutnya, dikemukakan oleh Omar, jika Mandela, saya dan para perjuang anti-apartheid telah dipenjara puluhan tahun, tapi itu tidak berarti jika dibandingkan dengan pengorbanan Yusuf karena ia meninggal dalam perjuangannya.

Kegigihan perjuangan Syeikh Yusuf yang tidak pernah mengenal kata menyerah ini patut diteladani. Ketika ditangkap oleh Belanda di Banten sebelum diasingkan ke Cylon, ia diberi kesempatan untuk meminta maaf dan menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah kolonial Belanda, namun ia tetap menolak. Ia juga tidak dikurung di penjara Batavia karena diduga masih dapat melarikan diri.

Inspirasi terakhir, perjuangan Yusuf tidak pernah dinikmati hasilnya karena ia telah meninggal. Berbeda dengan kami, kata Dullah, saya sendiri sudah menjadi Menteri, Mandela sudah menjadi Presiden dan juga telah menerima Hadiah Nobel Perdamaian (1993), dst.

Para pengusaha Bugis-Makassar dapat memetik semangat ini yang dalam khasanah masyarakat Bugis dikenal ungkapan “tegasi sanree lopimmu kosikotu taro sengereng,” yang bermakna di manapun perahumu bersandar (dimana pun engkau berada), di sanalah engkau beradaptasi menanam budi baik “legacy” yang akan dikenang abadi.

Atas kekaguman Nelson Mandela, Dullah Omar, dan para pejuang anti apartheid pada semangat perjuangan dan ketokohan Syeikh Yusuf, ketika saya kembali ke tanah air, saya bersama Robert Evans (sahabat dekat Mandela) menemui dan mengusulkan kepada Prof Rady A Gani,  Rektor Unhas, agar Nelson Mandela dapat diberi Doktor Kehormatan dari Unhas. Akhirnya, pada 10 September 2005, Doktor Kehormatan itu diberikan oleh Unhas kepada Presiden Mandela.

Robert Evans, adalah sahabat yang telah saya usulkan menjadi Konsultan Internasional ketika kedua negara, Indonesia dan Timor Leste memilih menyelesaikan persoalan HAM masa lalunya melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk pada 14 Agustus 2005 dan menyampaikan laporannya pada 15 Juli 2008. Achmad Ali (Guru Besar FH Unhas) adalah salah seorang anggota KKP, dan Robert Evans menerima penghargaan Doktor Kehormatan dari Universitas Negeri Makassar pada 27 Februari 2009 atas jasanya memajukan pendidikan HAM di tanah air dan mempertemukan akar sejarah Bugis Makassar dengan Afrika Selatan.

Kenangan ini semua saya abadikan di the Jakarta Post beberapa hari setelah meninggalnya Nelson Mandela

https://www.thejakartapost.com/news/2013/12/15/mandela-and-his-source-inspiration-sheikh-yusuf.htmlhttps://www.thejakartapost.com/news/2013/12/15/ mandela-and-his-source-inspiration-sheikh-yusuf.html

  • Bagikan