Yahudi-Kristen itu Muslim? Simak Jawabannya dalam Hasil Bedah Buku Metode Pemahaman Al-Quran dan Hadis antara Liberal dan Salafi

  • Bagikan

Program Studi Ilmu Hadis, Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Pekalongan bekerjasama dengan El-Bukhari Institute dan Dialektika Institute for Culture, Religion and Democracy menyelenggarakan bedah buku Metode Pemahaman Al-Quran dan Hadis antara Liberal dan Salafi karya Adis Duderija via zoom pada Kamis (23/12/2021).

Hadir dalam bedah buku ini, Adis Duderija, penulis buku, Abdul Aziz, penerjemah sekaligus peneliti di Dialektika Institute dan Dr. Arif Chasanul Muna, Lc., M.A..  dari IAIN Pekalongan dan Masrur Irsyadi dari El-Bukhari Institute sebagai moderator.

Mengawali pembahasannya, Adis Duderija menjelaskan dua tujuan di balik penulisan buku ini; pertama, membandingkan dan mengkontrasikan metode pemahaman al-Quran dan sunnah antara Muslim Salafi Neotradisional dan Muslim Progresif; kedua, menjelaskan bagaimana perbedaan pada tataran metode pemahaman ini berimplikasi pada perbedaan pandangan soal apa artinya menjadi perempuan muslim yang ideal dalam kacamata agama dan apa yang disebut mu’min dan muslim.

Lebih jauh, Adis juga menjelaskan tentang konsep Salaf dan peran sunnah. Menurut Adis, Muslim Salafi Neotradisional selalu mengidentikan sunnah dengan hadis sahih, dan mempersempit makna sunnah hanya terbatas pada hadis sahih. Padahal di era Islam awal, sunnah meliputi semua tradisi dari Nabi yang terpelihara, dan tidak selalu harus terkodifikasikan ke dalam kompedium hadis sahih. Sunnah yang bersifat rasional dan kontekstual ini cukup hidup di dua abad pertama perkembangan pemikiran Islam. Hanya saja, kata Adis, sunnah dalam pengertian selanjutnya selalu diidentikan dengan hadis sahih yang selalu merujuk pada Nabi.

Adis juga mengemukakan bahwa pengertian mu’min, muslim, kafir, musyrik memiliki makna yang sangat statis di mata Salafi dan dinamis di mata muslim progresif. Akibatnya, Muslim Salafi memandang Ahli Kitab (: yahudi dan kristen) sebagai orang musyrik sementara tidak demikian dengan Muslim Progresif. Bahkan dalam batas-batas tertentu, Yahudi-Kristen adalah muslim-mu’min.

Sedangkan dalam melihat konsep perempuan muslim, Muslim Salafi, kata Adiz,  cenderung membingkai perempuan dalam diskursus fitnah atau kayd dan sebagai perusak moralitas masyarakat. Sehingga, menurut Muslim Salafi, kata Adis, perempuan harus dibatasi aktifitasnya yang hanya di rumah, diwajibkan menggunakan hijab dan menutup wajah mereka. Tak hanya itu, dalam konteks pernikahan, wanita harus tunduk secara mutlak terhadap suami mereka.

Aziz menilai bahwa karya Adis Duderija ini merupakan karya yang membuat pembaca lebih cerdas. Pasalnya, dalam mengamati fenomena pemikiran, kata Aziz, Adis Duderija mengajak pembaca untuk melihat landasan epistemologis, metodologis, ontologis dan aspek-aspek teoretis lainnya. “Ini membuat pembaca menjadi cerdas, bahkan mungkin melampaui penulisnya,” papar Aziz.

Secara lebih jauh Aziz menegaskan bahwa istilah Salafi yang digunakan Adis Duderija di buku ini lebih banyak merujuk kepada Salafi-Wahhabi. Ini terbukti, menurutnya, dari tokoh-tokoh yang dijadikan sebagai objek analisis: Albani, Ibnu Baz, al-Madkhali, al-Athari dan lain-lain. Aziz juga menyebut beberapa ciri yang melandasi cara kerja tafsir Muslim Salafi Neotradisional yang dikemukakan Adiz Duderija dalam bukunya ini. Di antaranya ialah formalisme, segmentalisme tekstual, voluntarisme etis dan analisis filologis (analisis makna kata). Pendekatan seperti ini memang umum terjadi dalam pendekatan di era Islam klasik namun digunakan juga

Sementara itu, Dr. Arif Chasanul Muna menilai bahwa buku Metode Pemahaman al-Quran dan Hadis antara Liberal dan Salafi ini merupakan suatu karya yang berkecimpung dalam persoalan living hadis dan living quran. Ada banyak catatan kritis yang dikemukakannya; pertama, Arif menyebutkan bahwa istilah salafi dan muslim progresif dalam buku ini masih ambigu. Arif menilai bahwa belum ada standar yang jelas dalam buku ini untuk mengelompokkan dua komunitas tafsir tersebut.

Buku ini cenderung menggeneralisir; kedua, secara prinsip, Arif melihat bahwa dua komunitas tafsir ini sama-sama merupakan komunitas anti-mazhab. Arif lebih jauh mempertanyakan genealogi muslim progresif yang hanya sampai pada modernis klasik. “Jadi asal usul leluhur muslim progresif ini dari mana? Tidak begitu dijelaskan dalam buku ini, dan pandangan mereka pun cenderung mengabaikan madzhab,” paparnya. Ketiga, Arif melihat bahwa ada ketidaknetralan dalam mengulas dua komunitas muslim kontemporer ini dimana Adis lebih cenderung membela kelompok kedua.

  • Bagikan