Komoditas Jadi Andalan Kinerja Perdagangan Indonesia 2023

  • Bagikan

Dilepasnya kebijakan zero Covid oleh Tiongkok berpotensi mengubah kondisi perdagangan dan komoditas global.

Kinerja perdagangan Indonesia sepanjang 2022 tidak terlepas dari terus terjaganya pasar ekspor, terutama tujuan ke tiga negara, yakni Amerika Serikat, India, dan Filipina.

Pada tahun lalu, negara ini bisa dikatakan mengalami periode emas kinerja perdagangannya dengan mencatatkan surplus terbesar sepanjang sejarah, yaitu mencapai USD54,46 miliar, melebihi kinerja 2020 dan 2021 yang mencatatkan surplus masing-masing USD21,62 miliar dan USD35,42 miliar.

Bahkan, kinerja dagang pada 2022 berkebalikan dengan pencapaian pada 2018 dan 2019 yang mengalami defisit, masing-masing sebesar USD8,70 miliar dan USD3,59 miliar. Berkaitan dengan kinerja perdagangan 2022, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menilai, kinerja perdagangan pada 2022 disumbang oleh tiga negara, yaitu Amerika Serikat, India, dan Filipina.

Dengan Amerika Serikat (AS), surplus perdagangan Indonesia tercatat mencapai USD18,89 miliar. Surplus dagang dengan AS terutama terjadi pada komoditas pakaian dan aksesoris rajutan sebesar USD2,86 miliar, mesin dan peralatan listrik USD2,83 miliar, serta pakaian jadi bukan rajutan USD2,61 miliar.

Dari sisi nilai ekspor, AS masih menjadi negara tujuan ekspor nomor dua Indonesia dengan nilai USD28,20 miliar. Jumlah itu setara dengan 10,22 persen dari total ekspor sepanjang 2022.

Dengan India, surplus perdagangan Indonesia mencapai USD16,16 miliar. Penyumbang terbesarnya yaitu komoditas bahan bakar mineral sebesar USD10,65 miliar, lemak dan minyak hewan/nabati USD5,35 miliar, serta bijih logam, terak, dan abu sebesar USD830 juta.

Yang menarik, nilai ekspor Indonesia ke India mengalami lonjakan drastis dari USD13,05 miliar pada 2021 menjadi USD23,30 miliar sepanjang 2022. Posisi India menyodok ke peringkat ketiga negara tujuan ekspor terbesar Indonesia.

Demikian pula dengan Filipina, Indonesia mencatatkan surplus sebesar USD11,41 miliar. Penyumbang terbesar yaitu komoditas bahan bakar mineral sebesar USD5,01 miliar, kendaraan dan bagiannya USD2,69 miliar, serta lemak dan minyak hewan/nabati sebesar USD600 juta.

Di sisi lain, Indonesia mencatatkan defisit perdagangan terbesar dari Australia sebesar USD6 miliar, Thailand USD3,96 miliar, dan Tiongkok USD3,61 miliar.

Pada kesempatan itu juga BPS melaporkan selama 2022 nilai ekspor nonmigas Indonesia ke beberapa negara meningkat terutama lima negara tujuan dengan peningkatan terbesar yaitu Tiongkok, India, Jepang, Filipina, dan Malaysia.

Menurut Margo Yuwono, ekspor Indonesia ke Tiongkok meningkat sebesar USD12,46 miliar. Dia menambahkan peningkatan ekspor terjadi juga ke negara seperti Jepang naik USD6,3 miliar, Filipina naik USD4,2 miliar, dan Malaysia naik USD2,9 miliar.

Sementara itu, BPS juga menyebutkan bahwa ekspor Indonesia menurun secara drastis ke negara yang tengah berkonflik seperti ke Ukraina dan Rusia. Margo melaporkan, ekspor Indonesia merosot tajam ke Ukraina sebesar USD0,38 miliar. Adapun, komoditas yang menurun yaitu lemak dan minyak hewan nabati (HS 15), diikuti kertas karton (HS 48), dan karet dan barang karet (HS 40).

Sebaliknya, penurunan juga terjadi ke negara Mesir yang turun USD0,30 miliar, Myanmar USD0,17 miliar, Georgia USD0,16 miliar, dan Rusia USD0,10 miliar.

Peningkatan ekspor 2022, kata Margo, menyumbangkan surplus neraca perdagangan pada tahun lalu terutama didorong oleh peningkatan harga komoditas unggulan Indonesia di pasar global, yang dipicu oleh perang Rusia dan Ukraina.

“Pada 2023, harga komoditas, tekanan geopolitik dan membaiknya ekonomi negara tujuan masih akan menjadi faktor terbesar yang memengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia,” ujarnya, Senin (16/1/2022).

Margo memaparkan ada anomali di balik kinerja positif dari sisi surplus neraca perdagangan tersebut. Anomali itu, terjadi setidaknya dalam catatan kinerja ekspor Indonesia sejak September hingga Desember 2022.

Sebagai informasi, total ekspor Indonesia pada September mencapai USD24,77 miliar, turun dari USD27,86 miliar pada Agustus 2022. Penurunan pada Agustus itu pun berlanjut pada bulan berikutnya yaitu Oktober 2022, total ekspor Indonesia mencapai USD24,72 miliar.

Sementara itu, pada November 2022, kinerja ekspor Indonesia kembali terkoreksi secara bulanan ke level USD24,09 miliar dan berakhir di level USD23,82 miliar.

Padahal, pada September – Desember 2021 tren ekspor secara bulanan cenderung terus mengalami kenaikan. Hal yang sama pun terjadi di periode yang sama pada 2020.

Khusus pada Desember 2022, penurunan ekspor nonmigas terutama disebabkan oleh penurunan ekspor komoditas bahan bakar mineral sebesar 9,44 persen MtM, minyak dan lemak hewan/nabati sebesar 9,4 persen, barang dari besi dan baja turun 50,74 persen, serta logam mulia dan perhiasan permata turun 11,61 persen MtM.

Di sisi lain, jika ditilik dari kinerja ekspor komoditas andalan Indonesia lain yakni batu bara, tren penurunan juga tampak pada pengujung 2022. Berkomentar soal kinerja itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan penurunan ekspor sepanjang September – Desember 2022 menjadi sebuah kewajaran, lantaran adanya pelemahan harga komoditas pada periode tersebut.

Dia pun melihat tren ekspor Indonesia yang mengalami penurunan akibat pengaruh sektor komoditas akan berlanjut pada 2023. Apalagi, dunia masih terus dibayangi oleh terjadinya resesi global.

“Hanya saja ada satu hal yang menarik di mana Tiongkok sudah melepas kebijakan zero Covid-nya. Kebjakan itu bisa mengubah kondisi perdagangan dan komoditas global. Ini jadi peluang pemulihan perekonomian global,” katanya.

Pada kesempatan yang berbeda, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menilai struktur impor bahan baku dan penolong yang mencapai 76,68 persen pada periode Januari – November 2022 memberikan sinyal positif.

“Oleh sebab itu, pertumbuhan impor yang diperkirakan meningkat pada tahun ini, pada prinsipnya akan menopang efisiensi sistem produksi di dalam negeri,” katanya seperti dikutip Antara.

Mendag memaparkan tingkat mobilitas di dalam negeri yang secara umum sudah mulai membaik dengan pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada 30 Desember 2022 dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan pencabutan PPKM, Mendag menilai, akan terjadi peningkatan aktivitas ekonomi dalam negeri yang mendorong peningkatan pada sisi pasokan maupun permintaan, termasuk peningkatan impor. Namun, Zulkifli menyampaikan bahwa impor tidak selalu bersifat konsumtif karena impor juga dibutuhkan untuk menopang pertumbuhan industri manufaktur dan ekspor.

  • Bagikan