Ketum GCI, Ginka: Gagalkan Omnibuslaw Demi Kepentingan Rakyat Indonesia

  • Bagikan

Ginka febriyanti menyatakan penolakan terhadap RUU Omnibus Law Cipta Kerja perlu diiringi dengan desakan atau tekanan dari publik secara meluas karena tak sedikit pihak yang dirugikan dari peraturan tersebut.

“Saya menawarkan bahwa kita harus teriakkan bersama UU ini. Pembangkangan sipil barangkali atau apa istilahnya, silakan dipikirkan itu,” tegas Ketua Umum Gerakan Cinta Indonesia.

Ginka menegaskan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja merugikan banyak kalangan masyarakat dan lingkungan, menguntungkan investor, mengabaikan HAM serta terlalu sentralistik. Tidak sedikit kewenangan pemerintah daerah yang hilang dan menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Menurutnya, desakan publik perlu disampaikan terus-menerus meski tanpa tanda tangan Presiden Jokowi, RUU tersebut akan otomatis berlaku setelah 30 hari disahkan di rapat paripurna DPR.

“Walaupun tidak akan berefek apa-apa karena setelah 30 hari itu tetap akan menjadi UU, tetapi paling tidak ada pernyataan politik Presiden yang bisa menjadi catatan kuat diproses ketiga (pengesahan),” katanya.

Proses penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Kerja cacat formil. Sudah bermasalah sejak penyusunan, pembahasan hingga disahkan di DPR karena tidak melibatkan partisipasi publik secara maksimal.

Apalagi, draf akhir dari RUU tersebut juga tidak dibagikan kepada anggota DPR usai disahkan di rapat paripurna.

“Jadi paripurna itu seperti paripurna cek kosong,” ujar ketua umum GCI, Rabu (07/09/2020).

Ia mengatakan ada langkah yang bisa diambil untuk menggagalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yakni dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Itu bisa dilakukan jika RUU Omnibus Law sudah resmi diundangkan.

“Pilihan terakhir tentu saja judicial review yang harus dilakukan, karena UU ini secara nyata menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR berjalan membelakangi partisipasi publik,” tutur ginka kepada wartawan.

Selain itu proses penyusunan hingga pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU itu mengesampingkan berbagai masukan dari akademisi maupun para pemangku kebijakan.

“Artinya, deliberasi (musyawarah) dari pembuatan UU yang sekarang kita hadapi ini menunjukkan ada masalah, dan perlu direspon secara kritis, tegas dan terarah dengan harapan kita bisa memperbaiki kekurangan yang ada,” tutup Ginka.

  • Bagikan