RUU HIP, Kepentingan Penguasa dan Ancaman Kedaulatan Rakyat

  • Bagikan

Salah satu fenomena menarik yang kini sedang banyak diperbincangkan semua kalangan adalah kontroversi mengenai pembahasan RUU HIP. Perdebatan RUU HIP mendapatkan banyak kecaman keras dari berbagai kelompok.

Kelompok ini berasal dari golongan Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama serta Majelis Ulama Islam yang sangat menolak keras dengan adanya RUU HIP yang semula direncanakan akan menjadi UU HIP oleh DPR RI.

Dengan tidak dimasukannya TAP MPRS XXV/MPRS/1966 yang masih berlaku hingga saat ini menyiratkan bahaya laten tentang larangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme ke dalam draft Konsideran RUU HIP.

Apalagi TAP MPRS XXV/MPRS/1966 berkaitan erat dengan sejarah Pancasila. Karenanya TAP MPRS semestinya menjadi rujukan, karena secara hirarki perundang-undangan berada di atas Undang-undang dan di bawah UUD.

RUU yang kini menjadi polemik di publik ini dinilai memiliki banyak kejanggalan oleh beberapa pihak. Sebabnya, Pancasila sendiri sudah final dan bisa dijadikan panduan dalam hidup berbangsa dan bernegara sehingga tidak perlu lagi dituangkan dalam sebuah aturan undang-undang.

Memaknai esensi Pancasila sebagai Way of Life perlu mengukur mentalitas atau kultur yang mampu mengintegrasikan kepentingan rakyat untuk hidup dalam ruang dan suasana dialogis dari kemungkinan-kemungkinan adanya konflik kepentingan elit.

Kita melihat dengan telah disahkannya RUU HIP merupakan pertarungan kepentingan yang mampu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendeknya, “Teknologi Kekuasaan” berhasil membangun “mental afirmatif” yang memang telah dengan begitu cerdik memanfaatkan sebagian besar rakyatnya yang beku terhadap keadaan politik saat ini.

Sedikit menyinggung kembali persoalan di atas, kegagalan pemerintah yang paling mendasar saat ini ialah usahanya untuk mengkooptasi berbagai makna yang bersifat prinsipil dan suara ke dalam sebuah kekuasaan yang tunggal. Berbagai perbedaan pola piker selalu dipolitisir sedemikian rupa ke dalam pola kekuasaan dengan memperalat konsep “stabilitas nasional”, bukan karena alasan yang substansial.

Dari sinilah kita melihat bahwa kehadira RUU HIP dapat memperlemah bahkan kemungkinan terburuk adalah menghapus secara perlahan tata nilai dan norma-norma dasar sebagaimana yang tercantum dalam draft konsideran RUU HIP pasal 6 yang berbunyi: “Ciri pokok Pancasila yang terdiri dari asas Ketuhanan, Nasionalisme dan Gotong Royong. Trisila dapat dikristalisasi dalam Ekasila yaitu Gotong Royong”.

Juga muatan politis dalam RUU HIP ini dapat mengakibatkan citra yang buruk, karena simbol persatuan dan kesatuan akan menjadi kehancuran dan percahan sesama anak bangsa.

Hal ini dapat bisa kita analisis bagi kelompok yang dalam pembahasan tentang RUU HIP menaruh kepentingan dengan dalih ingin “membumikan Pancasila” atau “memasyarakatkan Pancasila” melalui berbagai sektor di seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tetapi perlu kita ketahui bahwa usaha pengkooptasian atas perbedaan makna di dalam RUU HIP terhadap kelompok-kelompok yang turut berjasa merumuskan Pancasila saat itu akan tergerus akibat kekuasaan yang represif.

Publik pun kini bisa menilai secara perlahan dimana letak kekuasaan yang berdiri di atas legitimasi hokum dan mana kekuasaan yang sekedaar memperalat hokum dengan alasan persatuan dan kesatuan bangsa. Pandangan bahwa kekuasaan yang banyak memerintah justru di situlah letak kelemahan menjadi “krisis kepercayaan”.

Artinya, DPR RI harus tau diri terhadap batas-batas kedaulatan hukum positif dan manakah daya-daya hukum normative yang tidak boleh dicampuri atau dikooptasi oleh kekuasaan.

Oleh; Emyr M Noor, Penulis merupakan Direktur Kajian Strategis dan Pembangunan Nasional
I.P.P.A (Indonesian Public Policy Assembly)

  • Bagikan