Tim Gabungan Profesor Dan Doktor Beri Potret Diskresi dalam Dugaan Kasus Korupsi Minerba

  • Bagikan

KOTA BANDUNG– Sembilan pakar hukum tanah air turut bersuara terkait kasus dugaan korupsi pertambangan ora nikel di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara. Kasus itu turut menyeret Eks Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin.

Seperti yang dilansir dalam jabarekspres.com, Bahwa para pakar yang terdiri dari dua Profesor dan tujuh Doktor bidang hukum itu berupaya mendudukan aspek diskresi dalam pengambilan keputusan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di Kementrian ESDM itu. Mereka adalah Prof.Dr.I.Gede Pantja Astawa, Prof. Dr. Didin Muhafidin, Dr. Drs. Yadiman, Dr. HM.Nawawi, Dr. Adjat Sudradjat, Dr. A.Zakiyuddin, Dr. Mohamad, Dr. Yetty Soehardjo, dan Dr. L.M,Bariun.

Gede Pantja Astawa berpendapat, diskresi dalam hal ini termasuk yang dilakukan Dirjen Minerba merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada pejabat tertentu. Diskresi biasanya dilakukan dengan cara menyimpangi peraturan perundangan baik secara formil maupun materil dan dapat secara lisan maupun tulisan. “Diskresi dipergunakan dalam situasi dan kondisi mendesak demi kepentingan tugas pelayanan, konteksnya pemberian perijinan (RKAB),” jelasnya.

Sementara Didin Muhafidin menambahkan, Diskresi oleh pejabat diperlukan untuk kelancaran tugas pelayanan umum dan pembangunan. Dalam konteks Dirjen Minerba ini dilakukan karena adanya tugas yang menumpuk sebagai akibat pelimpahan kewenangan dari Daerah ke Pusat, pasca berlakunya UU Minerba No 3 Tahu 2020.

Setelah didalami diskresi yang dilakukan Dirjen Minerba sebagai implementasi dari arahan Presiden Jokowi untuk mempermudah perijinan, dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional. Diskresi itu juga secara telah dilakukan secara transparan dengan adanya rapimtas pejabat terkait. Termasuk aspek akuntable dengan diterbitkannya notadinas “Juga aspek integritas karena berlaku untuk umum terhadap semua pemohon RKAB,” sambung Yadiman.

Sementara itu HM Nawawi berpendapat bahwa ketika diskresi itu sah menurut hukum, maka penyidikan tidak boleh dilakukan. Untuk menentukan sah tidaknya suatu dikresi harus dilakukan pemeriksaan oleh APIP dan atau Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kemudian, terkait kerugian negara harus dipandang sebagai suatu sebab-akibat yang timbul dari suatu perbuatan. Baik perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan. ” jumlahnya harus dihitung secara pasti bukan berpotensi merugikan negara,” cetus mantan Hakim Tipikor itu.

HM Nawawi melanjutkan, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, penyelidik/penyidik terlebih dahulu harus memastikan adanya kerugian negara yang di declare oleh BPK. Pada prosesnya, BPK akan memberi kesemaptan kepada pelaku untuk memulihkan kerugian tersebut, manakala tidak dipulihkan dalam waktu 60 hari maka BPK meromendasikan kepada APH untuk dilakukan proses hukum.

Di sisi lain, Adjat Sudradjat menilai bahwa masalah prosedur penerbitan RKAB oleh Dirjen MInerba merupakan ranah Hukum Administrasi Negara. Sehingga kewenangannya ada di PTUN bukan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tipikor. “Kebijakan yang dilakukan oleh pejabat publik dalam hal ini Dirjen Minerba KESDM tidak bisa diminta pertanggung jawaban pidana,” singgungnya.

A Zakiyuddin menambahkan, Pejabat publik dalam melakukan diskresi harus berdasarkan azas-azas umum pemerintahan yang baik. Kemudian diskresi yang bersifat sementara tidak boleh selamanya, sehingga harus segera diformalisasikan menjadi permanen sesuai prinsip prinsip manajemen berjenjang.

Kemudian Mohamad berpendapat bahwa pada mekanisme produk birokrasi, paraf atau klik oleh staf pertanggung jawabannya gugur setelah surat ditanda tangani pimpinan. Lalu pada produk birokrasi seorang staf tidak bisa dipersalahkan karena harus melaksanakan tugas pimpinan sesuai tupoksi dan disposisi.

Sementara itu Yetty Soehardjo menilai kasus penambangan nikel di Blok Mandiodo Sulawesi Tenggara sebagai akibat pembiaran terlalu lama ilegal mining. “Seharusnya diproses secara Tipiter bukan Tipikor,” jelasnya.

Di sisi lain, LM Bairun berpendapat bahwa Kasus aquo di Blok Mandiodo Sulawesi Tenggara, merupakan hubungan hukum perdata karena adanya MOU antara PT Aneka Tambang dengan mitra usaha. Lalu karena adanya Wanprestasi PT Antam menyatakan ada potensi kerugian Negara Rp 5,7 Triliun yang merupakan jumlah kualitatif dari kegiatan penambangan liar. “Kasus RKAB oleh Dirjen Minerba tidak ada hubungan sama sekali dengan kerugian Aneka Tambang,” cetusnya.

  • Bagikan